Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang paling mulia dalam Islam. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:
“أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ”
Artinya: “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram.”
(HR. Muslim no. 1163)
Makna dan Penjelasan Hadis
Hadis ini merupakan pernyataan yang jelas dari Rasulullah ﷺ bahwa bulan Muharram adalah bulan paling utama untuk melakukan puasa sunnah setelah bulan Ramadhan. Namun, jika demikian, mengapa Nabi ﷺ justru lebih banyak berpuasa di bulan Sya’ban?
Para ulama menjelaskan hal ini dengan dua kemungkinan:
- Nabi ﷺ baru mengetahui keutamaan bulan Muharram di akhir hidupnya, sehingga belum sempat memperbanyak puasa di bulan tersebut.
- Mungkin beliau memiliki uzur (halangan) seperti sedang dalam perjalanan (safar), sakit, atau alasan lainnya yang menyebabkan beliau tidak dapat banyak berpuasa di bulan Muharram.
Keutamaan Salat Malam
Dalam hadis yang sama, Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ”
Artinya: “Salat yang paling utama setelah salat fardhu adalah salat malam.”
(HR. Muslim no. 1163)
Hadis ini menunjukkan keutamaan salat malam (qiyamullail atau tahajud) dibandingkan semua jenis salat sunnah lainnya.
Para ulama sepakat bahwa salat sunnah malam lebih utama daripada salat sunnah siang. Bahkan, Imam Abu Ishaq al-Marwazi, salah satu ulama mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa salat malam lebih utama daripada salat-salat rawatib (yaitu salat sunnah yang mengiringi salat fardhu).
Namun, sebagian besar ulama mazhab Syafi’i lainnya berpendapat bahwa salat rawatib lebih utama, karena memiliki kedekatan dan kemiripan dengan salat fardhu dalam hal waktu dan bentuk pelaksanaannya. Meskipun demikian, pendapat yang mengutamakan salat malam dianggap lebih kuat dan lebih sesuai dengan sabda Nabi ﷺ.
Keutamaan Bulan Muharram dalam Mazhab Syafi’i
Bulan Muharram termasuk salah satu dari empat bulan haram (bulan suci) dalam Islam, sebagaimana firman Allah:
{إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ}
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan menurut Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya ada empat bulan haram.”
(QS. At-Taubah: 36)
Penjelasan Ulama Mazhab Syafi’i
Imam al-Nawawi رحمه الله, seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i, menyatakan dalam Syarh Shahih Muslim bahwa:
“Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan paling utama untuk puasa setelah Ramadhan. Jika Nabi ﷺ lebih sering berpuasa di bulan Sya’ban dibandingkan Muharram, maka ada dua kemungkinan: pertama, beliau baru mengetahui keutamaannya di akhir hayat. Kedua, mungkin beliau memiliki halangan (uzur) seperti safar atau sakit.”
Selain itu, dalam mazhab Syafi’i, puasa pada tanggal 10 Muharram (Hari ‘Asyura) sangat dianjurkan. Bahkan lebih utama lagi jika ditambahkan dengan puasa pada tanggal 9 (Tasua) untuk menyelisihi kebiasaan kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10 saja.
Imam an-Nawawi juga berkata:
“Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram secara bersamaan. Ini adalah sunnah yang sangat ditekankan dalam mazhab kami.”
(al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 6/379).
Wallāhu subḥānahu wa ta‘ālā a‘lam
Untuk mendukung dakwah Madarif Institute silahkan berikan infaq terbaik melalui rekening: 7314673349 (BSI) a.n YYS MADARIF INSPIRASI INDONESIA