Orang yang mencermati pendapat-pendapat para fuqaha dan teks-teks mereka akan mendapati bahwa mereka telah membahas permasalahan kesulitan (masyaqqah) yang membolehkan seseorang meninggalkan berdiri dalam shalat, dengan menyebutkan sejumlah sebab yang darinya bisa ditarik suatu kaidah tentang kesulitan (masyaqqah). Kaidah ini dapat diterapkan untuk permasalahan baru yang muncul. Sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama:
Ketidakmampuan untuk berdiri secara hakiki—yaitu benar-benar tidak mampu berdiri, sehingga jika dia memaksakan diri berdiri maka dia akan jatuh—atau secara hukum, yaitu ketika seseorang secara fisik mungkin bisa berdiri tetapi dengan berdiri tersebut akan menyebabkan penyakitnya bertambah parah, atau memperlambat proses penyembuhan, atau muncul sesuatu yang dia khawatirkan jika shalat dalam keadaan berdiri, seperti pusing atau takut tenggelam bagi orang yang shalat di atas perahu. Hal ini diketahui melalui pengalaman sebelumnya atau berdasarkan keterangan dari dokter.
Imam Ibn Nujaym al-Hanafi berkata dalam al-Bahr al-Ra’iq (2/121, cet. Dar al-Kitab al-Islami):
“قوله: تعذر عليه القيام أو خاف زيادة المرض صلى قاعدًا يركع ويسجد. أراد بالتعذر التعذر الحقيقي بحيث لو قام سقط بدليل أنه عطف عليه التعذر الحكمي وهو خوف زيادة المرض.”
Artinya:
“Perkataannya: ‘Jika sulit baginya untuk berdiri atau dia khawatir penyakitnya bertambah, maka dia shalat dengan duduk, dia rukuk dan sujud.’ Yang dimaksud dengan kesulitan di sini adalah kesulitan yang nyata, yaitu jika dia berdiri maka akan jatuh. Ini dibuktikan dengan adanya tambahan penjelasan tentang kesulitan secara hukum, yaitu kekhawatiran akan bertambahnya penyakit.”
Al-Allamah an-Nafrawi al-Maliki berkata dalam al-Fawakih ad-Dawani (1/240, cet. Dar al-Fikr):
“(وصلاة المريض) الفريضة (إن لم يقدر على القيام) فيها مستقلًّا بأن عجز عنه جملة أو تلحقه به مشقة شديدة (صلى جالسًا) مستقلًّا.”
Artinya:
“Shalat orang sakit (shalat fardhu), jika dia tidak mampu berdiri secara sempurna, baik karena benar-benar tidak mampu atau karena ada kesulitan yang berat, maka dia shalat dengan duduk secara sempurna.”
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i berkata dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (4/310, cet. Dar al-Fikr):
“قال أصحابنا: ولا يشترط في العجز ألا يتأتى القيام ولا يكفي أدنى مشقة، بل المعتبر المشقة الظاهرة، فإذا خاف مشقة شديدة، أو زيادة مرض، أو نحو ذلك، أو خاف راكب السفينة الغرق، أو دوران الرأس، صلى قاعدًا ولا إعادة.”
Artinya:
“Para ulama mazhab kami berkata: Tidak disyaratkan dalam keadaan tidak mampu itu harus benar-benar tidak bisa berdiri. Dan tidak cukup hanya dengan sedikit kesulitan, tetapi yang dianggap adalah kesulitan yang nyata. Jika seseorang khawatir mengalami kesulitan yang berat, atau penyakitnya bertambah parah, atau semacamnya, atau orang yang berada di kapal khawatir tenggelam atau pusing, maka dia boleh shalat duduk dan tidak wajib mengulang.”
Al-Allamah al-Hushni asy-Syafi’i berkata dalam Kifayah al-Akhyar (hal. 122, cet. Dar al-Khair):
“واعلم أنه ليس المراد بالعجز عدم الإمكان، بل خوف الهلاك، أو زيادة المرض، أو لحوق مشقة شديدة، أو خوف الغرق، ودوران الرأس في حق راكب السفينة.”
Artinya:
“Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan tidak mampu bukan berarti sama sekali tidak mungkin berdiri, tetapi jika dikhawatirkan terjadi bahaya seperti kematian, bertambahnya penyakit, munculnya kesulitan yang berat, atau kekhawatiran tenggelam dan pusing bagi orang yang berada di kapal.”
Al-Allamah Ibn Qudamah al-Hanbali berkata dalam al-Mughni (2/106, cet. Maktabah al-Qahirah):
“وإن أمكنه القيام إلا أنه يخشى زيادة مرضه به، أو تباطؤ برئه، أو يشق عليه مشقة شديدة، فله أن يصلي قاعدًا.”
Artinya:
“Jika dia masih mampu berdiri, tetapi dia khawatir penyakitnya bertambah parah, atau penyembuhannya menjadi lambat, atau mengalami kesulitan yang berat, maka dia boleh shalat dengan duduk.”
Kedua:
Jika kesulitan yang dia rasakan saat shalat berdiri menghilangkan maksud dari shalat itu sendiri, yaitu kekhusyukan atau kesempurnaan kekhusyukan. Baik karena sebab sakit, sempitnya tempat, atau karena takut kepada musuh, dan lainnya.
Al-Allamah Taqiyuddin al-Hushni asy-Syafi’i berkata dalam Kifayah al-Akhyar (hal. 122):
“وقال الإمام: ضابط العجز أن تلحقه مشقة تُذهب خشوعه.”
Artinya:
“Imam berkata: Batasan ketidakmampuan itu adalah ketika seseorang mengalami kesulitan yang dapat menghilangkan kekhusyukannya.”
Syaikh Abdurrahman asy-Syarbini berkata dalam Hasyiyah ‘ala al-Ghurar al-Bahiyyah (1/409, cet. al-Maimaniyah):
“(قوله: حدًّا يسقط القيام) هو ما لم يحصل معه شيء من الخشوع وما هنا يكفي فيه ذهاب كمال الخشوع. اهـ. ع ش، لكن في “الإيعاب”: وأدنى مراتب المشقة في المرض أن تشغله عن الخشوع أي: أصله لا كماله كما هو ظاهر في الصلاة.”
Artinya:
“Perkataan: ‘Batasan yang menggugurkan kewajiban berdiri’ adalah ketika tidak tersisa sedikit pun kekhusyukan. Dalam masalah ini cukup jika yang hilang adalah kesempurnaan kekhusyukan. Namun dalam al-I’ab, disebutkan bahwa tingkatan paling rendah dari kesulitan karena sakit adalah yang menyibukkan seseorang dari kekhusyukan, yaitu dari asal kekhusyukan, bukan hanya kesempurnaannya, sebagaimana tampak dalam shalat.”
Al-Allamah Ibn Muflih al-Hanbali berkata dalam an-Nukat wa al-Fawaid as-Sunniyyah (1/125, cet. Maktabah al-Ma’arif):
“وإطلاق كلامه أيضًا يقتضي أنه إذا أمكنه القيام في صورة الراكع أنه لا يلزمه، وليس كذلك، بل يلزمه؛ لأنه قيام مثله، بخلاف ما لو كان لغير آفة به، كمن في بيت قصير سقفه، أو خائف من عدو يعلم به إذا انتصب ويمكنه أن يستوي جالسًا فإنه يصلي جالسًا على منصوص الإمام أحمد لعدم الاستطاعة المذكورة في حديث عمران بن حصين.”
Artinya:
“Ucapan beliau secara umum menunjukkan bahwa jika seseorang mampu berdiri seperti posisi ruku’, maka itu tidak wajib. Tetapi kenyataannya tidak demikian, justru dia tetap wajib berdiri karena itu termasuk berdiri yang sah. Berbeda jika kesulitannya bukan karena sakit, seperti orang yang berada di rumah dengan atap yang rendah, atau orang yang takut kepada musuh jika berdiri. Jika dia bisa duduk dengan sempurna maka dia shalat duduk, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ahmad karena ketidakmampuan yang disebutkan dalam hadits Imran bin Husain.”
Al-Allamah al-Mardawi al-Hanbali berkata dalam al-Inshaf (5/7, cet. Hajar):
“لو كان في سفينة، أو بيت قصير سقفه، وتعذر القيام والخروج، أو خاف عدوًّا إن انتصب قائمًا، صلى جالسًا على الصحيح من المذهب، نص عليه.”
Artinya:
“Jika seseorang berada di kapal atau di rumah dengan atap yang rendah, dan tidak memungkinkan untuk berdiri atau keluar, atau dia takut kepada musuh jika berdiri, maka dia shalat dengan duduk. Ini adalah pendapat yang benar dalam mazhab Hanbali, dan telah dinyatakan secara tegas.”
Kesimpulan:
Berdasarkan hal tersebut dan dalam konteks pertanyaan, maka kesulitan (masyaqqah) yang membolehkan seseorang untuk tidak berdiri dalam shalat fardhu adalah kesulitan yang melebihi kebiasaan yang lazim dalam kewajiban (taklif), yang berakibat pada meningkatnya rasa sakit, tertundanya proses penyembuhan, atau terjadinya sesuatu yang dikhawatirkan jika shalat dalam keadaan berdiri, atau hilangnya kekhusyukan dalam shalat karena sebab tersebut.
Disebutkan dalam Tahdzib al-Furuq karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Husain, Mufti Malikiyyah di Makkah (1/132, cet. ‘Alam al-Kutub):
“وضابط المشقة المؤثرة في التخفيف من غيرها هو أنه يجب على الفقيه أولًا أن يفحص عن أدنى مشاق تلك العبادة المعينة فيحققه بنص أو إجماع أو استدلال، ثم ما ورد عليه بعد ذلك من المشاق ينظر فيه ثانيًا، فإن كان مثل تلك المشقة أو أعلى منها جعله مسقطًا، وإن كان أدنى منها لم يجعله مسقطًا.. والسفر مبيح للفطر بالنص فيعتبر به غيره من المشاق.”
Artinya:
“Batasan tentang kesulitan yang berpengaruh pada adanya keringanan dibandingkan kesulitan lain adalah: seorang faqih harus terlebih dahulu memeriksa tingkat kesulitan paling rendah dalam ibadah tertentu yang telah ditetapkan dengan nash, ijma’, atau istidlal (penalaran). Kemudian, jika ada kesulitan lain yang setara atau lebih berat dari itu, maka dijadikan sebagai sebab pembolehan meninggalkan kewajiban. Namun jika lebih ringan dari itu, maka tidak dijadikan sebab untuk meninggalkannya. Misalnya, safar (perjalanan jauh) membolehkan berbuka puasa berdasarkan nash, maka dapat dibandingkan dengannya kesulitan lain.”
Wallāhu subḥānahu wa ta‘ālā a‘lam
Untuk mendukung dakwah Madarif Institute silahkan berikan infaq terbaik melalui rekening: 7314673349 (BSI) a.n YYS MADARIF INSPIRASI INDONESIA