Puasa pada hari Asyura memiliki keutamaan yang agung serta pengampunan dosa. Barang siapa yang membiasakan puasa pada hari tersebut setiap tahun demi memperoleh pahala dan keutamaan, serta dalam rangka mengikuti sunnah Nabi kita ﷺ, maka sungguh ia telah memperoleh pahala dan ampunan dosa.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«صِيَامُ يَومِ عَرَفَةَ أَحتَسِبُ عَلَى اللهِ أَن يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعدَهُ، وَصِيَامُ يَومِ عَاشُورَاءَ أَحتَسِبُ عَلَى اللهِ أَن يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبلَهُ»
Artinya: “Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya, dan puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa tahun sebelumnya.” (HR. Muslim)
Maka, jika seseorang terlewat untuk berpuasa pada hari itu—baik karena uzur seperti sakit, bepergian, atau selainnya, baik dia memiliki kebiasaan puasa pada hari tersebut namun terhalang karena uzur ataupun tidak—sebagian ulama berpendapat bahwa disunnahkan baginya untuk mengqadha puasa tersebut. Karena puasa ini termasuk nawafil ratibah (ibadah sunah yang memiliki waktu tertentu), dan mengqadha nawafil ratibah juga telah dicontohkan dalam sunnah Nabi ﷺ.
Di antara dalilnya adalah bahwa Nabi ﷺ pernah mengqadha sunnah fajar ketika beliau tertidur dan tidak sempat menunaikannya, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu:
Dalam hadis tersebut disebutkan bahwa Nabi ﷺ menyuruh para sahabat untuk menjaga salat, lalu ketika matahari sudah terbit, beliau ﷺ bangun dan salat:
«ثُمَّ أَذَّنَ بِلَالٌ بِالصَّلَاةِ، فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ رَكعَتَينِ، ثُمَّ صَلَّى الغَدَاةَ، فَصَنَعَ كَمَا كَانَ يَصنَعُ كُلَّ يَومٍ»
Artinya: “Kemudian Bilal mengumandangkan azan salat, lalu Rasulullah ﷺ salat dua rakaat (sunnah fajar), kemudian beliau melaksanakan salat subuh, sebagaimana yang biasa beliau lakukan setiap hari.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5/186, cet. Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi) berkata:
[وفيه: قضاء السُّنة الراتبة؛ لأن الظاهر أن هاتين الركعتين اللتين قبل الغداة هما سُنة الصبح]
Artinya: “Dalam hadis ini terdapat dalil disyariatkannya mengqadha sunnah rawatib, karena yang tampak bahwa dua rakaat sebelum subuh tersebut adalah sunnah subuh.”
Contoh lainnya adalah ketika Nabi ﷺ menunda i’tikaf Ramadhan karena istri-istri beliau ingin beri’tikaf bersamanya. Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan:
«فَلَمَّا انصَرَفَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مِنَ الغَدَاةِ أَبصَرَ أَربَعَ قِبَابٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟، فَأُخبِرَ خَبَرَهُنَّ، فَقَالَ: مَا حَمَلَهُنَّ عَلَى هَذَا؟ آلْبِرُّ؟ انْزِعُوهَا فَلَا أَرَاهَا، فَنُزِعَت، فَلَم يَعْتَكِف فِي رمَضَانَ حَتَّى اعتَكَفَ فِي آخِرِ العَشرِ مِن شَوَّالٍ»
Artinya: “Ketika Rasulullah ﷺ kembali dari salat subuh, beliau melihat empat kemah. Beliau bertanya: ‘Apa ini?’ Maka dikabarkan kepadanya tentang istri-istrinya yang hendak beri’tikaf. Beliau bersabda: ‘Apa yang mendorong mereka melakukan ini? Apakah karena ketakwaan? Bongkar itu! Aku tidak ingin melihatnya.’ Maka kemah-kemah itu dibongkar, dan beliau tidak beri’tikaf di bulan Ramadhan hingga i’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Syawal.” (HR. Bukhari)
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari (4/276-277, cet. Dar al-Ma’rifah) berkata:
[في اعتكافه في شوال دليلٌ على أنَّ النوافل المعتادة إذا فاتت تقضى استحبابًا]
Artinya: “I’tikaf beliau di bulan Syawal adalah dalil bahwa ibadah sunah yang memiliki waktu tertentu jika terlewat, disunnahkan untuk diqadha.”
Disunnahkannya mengqadha sunnah—seperti puasa Asyura—telah dinyatakan oleh para fuqaha dari mazhab Syafi’i menurut pendapat yang paling kuat dan juga oleh para ulama Hanbali.
Syekh Islam Ibn Hajar al-Haitami al-Syafi’i dalam Tuhfah al-Muhtaj dengan Hasyiyah Imam al-Syarwani (2/237, cet. al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra) berkata:
[(ولو فات النفل المؤقت) كالعيد، والضحى، والرواتب (ندب قضاؤه) أبدًا (في الأظهَر)]
Artinya: “Jika ibadah sunah yang memiliki waktu tertentu terlewat seperti Id, Dhuha, dan Rawatib, maka disunnahkan untuk mengqadhanya kapan saja menurut pendapat yang lebih kuat.”
Imam al-Syarwani dalam komentarnya berkata:
[قال (ع ش): انظر هل يقضي النفل من الصوم أيضًا إذا فاته كيوم الإثنين ويوم عاشوراء؟ فيه نظر، وينبغي أن يُندب القضاء؛ أخذًا مما هُنا، ثم رأيتُ في (سم) على شرح البهجة ما نصُّه: وفي “فتاوى الشارح” أنه إذا فاته صوم مؤقت أو اتخذه وِردًا سُنَّ له قضاؤه انتهى. وهو يفيد سَنَّ قضاء نحو الخميس والإثنين وست شوال إذا فات ذلك]
Artinya: “Al-Syabramallisi berkata: Apakah juga disyariatkan mengqadha puasa sunah seperti Senin dan Asyura? Ini perlu ditinjau, namun sebaiknya disunnahkan, sebagaimana dijelaskan di sini. Kemudian aku menemukan dalam komentar Ibn Qasim al-‘Abbadi terhadap Syarh al-Bahjah bahwa jika seseorang melewatkan puasa yang memiliki waktu tertentu atau sudah menjadi wirid baginya, maka disunnahkan untuk mengqadhanya. Ini menunjukkan disyariatkannya mengqadha puasa seperti Kamis, Senin, dan enam hari Syawal jika terlewat.”
Imam Syamsuddin al-Ramli al-Syafi’i dalam Nihayah al-Muhtaj (2/211, cet. Dar al-Fikr) berkata:
[مَن فاته وله عادةٌ بصيامه كالإثنين فلا يُسن له قضاؤه؛ لفقد العلة المذكورة على ما أفتى به الوالد رحمه الله تعالى، لكنه مُعارَض بما مرَّ من إفتائه بقضاء ستٍّ مِن القعدة عن ستٍّ مِن شوال، معلِّلًا له بأنه يستحب قضاء الصوم الراتب، وهذا هو الأوجَه]
Artinya: “Orang yang melewatkan puasa sunah seperti hari Senin, dan ia memiliki kebiasaan puasa di hari itu, menurut fatwa ayahku tidak disunnahkan mengqadhanya karena hilangnya alasan, namun hal ini bertentangan dengan fatwa beliau yang lain bahwa boleh mengganti enam hari Syawal di bulan Dzulqa’dah, dengan alasan disunnahkan mengganti puasa sunah yang rutin. Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat.”
Imam Burhanuddin Ibn Muflih al-Hanbali dalam al-Mubdi’ (2/20, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah) berkata:
[ومن فاته شيءٌ من هذه السُّنن سُنَّ له قضاؤه]
Artinya: “Barang siapa yang terlewat dari salah satu dari sunnah-sunnah ini, maka disunnahkan baginya untuk mengqadhanya.” Meskipun konteksnya terkait dengan salat sunah rawatib, namun maknanya umum untuk seluruh ibadah sunah, ditambah dengan dalil dari sunnah Nabi ﷺ yang telah disebutkan sebelumnya.
Kesimpulan:
Berdasarkan hal tersebut dan dalam kasus pertanyaan: Maka puasa hari Asyura hukumnya disunnahkan secara syar’i, dan termasuk dari sunah ratibah (yang memiliki waktu tertentu) yang disyariatkan untuk diqadha. Disunnahkan bagi orang yang tidak sempat berpuasa pada hari itu karena bepergian ataupun udzur lainnya untuk mengqadha puasa Asyura demi meraih pahala dan ganjaran.
Wallāhu subḥānahu wa ta‘ālā a‘lam
Untuk mendukung dakwah Madarif Institute silahkan berikan infaq terbaik melalui rekening: 7314673349 (BSI) a.n YYS MADARIF INSPIRASI INDONESIA