Setiap mazhab dalam fikih Islam memiliki kaidah dan prinsip yang dipegang oleh para ulama dan imamnya. Masing-masing mazhab juga memiliki sumber dalil yang dijadikan dasar dalam menetapkan hukum.
Sebagian dari sumber ini disepakati oleh keempat mazhab, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Sementara sebagian lainnya diperselisihkan; ada yang menganggapnya sah sebagai sumber hukum, sedangkan yang lain menolaknya. Sumber-sumber ini dikenal sebagai sumber sekunder, di antaranya: Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah, ‘Urf (adat), Qaul Shahabi, Syar’u man qablana, Sadd adz-Dzari’ah, dan ‘Amal Ahl Madinah.
Mazhab Hanafi memiliki sepuluh sumber utama dalam menetapkan hukum, yaitu:
- Al-Qur’an,
- Sunnah,
- Ijma’,
- Qiyas,
- Istihsan,
- Istishhab,
- Maslahah Mursalah,
- ‘Urf (adat),
- Qaul Shahabi,
- Syar’u man qablana.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dalam hukum Islam tanpa ada perbedaan di antara para imam dan mujtahid. Imam Abu Hanifah berkata:
“Aku mengambil hukum dari Kitab Allah jika aku menemukan di dalamnya.“
Jika hukum telah terdapat dalam Al-Qur’an, maka ia diambil tanpa harus merujuk ke sumber lain.
Sebagai dalil pertama dan paling kuat, Al-Qur’an memiliki kekuatan mutlak (qath’i ats-tsubut) dan menjadi sumber utama dalam agama Islam. Umat Islam sepakat atas kewajiban mengamalkan Al-Qur’an dan tidak berpaling darinya kecuali jika tidak ditemukan hukum yang dicari di dalamnya.
Mengenai qira’at syadzah (bacaan yang tidak mutawatir), Mazhab Hanafi berpandangan bahwa meskipun ia bukan bagian dari Al-Qur’an yang bersifat qath’i, tetapi tetap dianggap sebagai dalil zhanni yang dapat diamalkan karena ia bersumber dari Nabi ﷺ dan diriwayatkan oleh perawi yang adil.
2. Sunnah Nabi ﷺ
Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam Mazhab Hanafi. Imam Abu Hanifah berkata:
“Aku mengambil hukum dari Kitab Allah jika aku menemukan di dalamnya, jika tidak, maka dari Sunnah Rasulullah ﷺ.”
Seperti halnya mazhab lain, Mazhab Hanafi menjadikan Sunnah sebagai dalil yang kuat, tetapi membedakan antara tingkatan hadis:
- Mutawatir (pasti kebenarannya)
- Masyrur (masyhur) (dikenal luas di kalangan fuqaha)
- Ahad (diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang)
Mazhab Hanafi memiliki kriteria ketat dalam menerima hadis, karena mereka berada di Irak, yang saat itu menjadi pusat banyak fitnah dan pemalsuan hadis. Oleh karena itu, mereka hanya menerima hadis yang memenuhi syarat tertentu, yaitu:
- Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti Al-Qur’an atau hadis mutawatir.
- Tidak bertentangan dengan amalan sahabat atau ijma’.
- Perawi tidak bertentangan antara apa yang ia riwayatkan dengan pendapatnya sendiri.
- Hadis tidak berkaitan dengan perkara yang menyangkut seluruh umat Islam, tetapi hanya diriwayatkan secara ahad.
- Perawi harus seorang faqih (ahli fikih) jika meriwayatkan hadis secara makna.
- Hadis tidak boleh bertentangan dengan qiyas yang kuat, kecuali jika ada dalil qath’i yang mendukungnya.
Jika hadis memenuhi syarat-syarat ini, maka akan diambil dan didahulukan atas qiyas, namun jika tidak, maka hadis tersebut dianggap syadz (ganjil) dan qiyas lebih diutamakan.
3. Ijma’ (Konsensus Ulama)
Ijma’ merupakan salah satu sumber hukum setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Menurut Mazhab Hanafi, ijma’ berlaku di setiap masa dan tidak terbatas hanya pada zaman sahabat.
Syarat Ijma’ menurut Mazhab Hanafi:
- Harus disepakati oleh seluruh mujtahid pada masa itu. Tidak cukup hanya mayoritas ulama atau penduduk Madinah saja.
- Tidak boleh ada perbedaan pendapat dari sahabat dalam masalah tersebut.
Tiga Jenis Ijma’ dalam Mazhab Hanafi:
- Ijma’ sharih (jelas): Semua ulama menyatakan pendapat yang sama secara eksplisit.
- Ijma’ sukuti (diamnya ulama lain terhadap suatu pendapat): Jika seorang ulama menyampaikan pendapat dan ulama lainnya diam tanpa membantah, maka ini dianggap sebagai persetujuan implisit.
- Ijma’ atas tidak adanya pendapat lain: Jika para sahabat berbeda pendapat dalam suatu masalah, tetapi tidak ada pendapat di luar pendapat mereka, maka dianggap sebagai ijma’ bahwa pendapat lain tidak diakui.
Menurut Mazhab Hanafi, Ijma’ sahabat memiliki tingkatan tertinggi, bahkan orang yang menolak ijma’ mereka dianggap keluar dari Islam.
4. Qiyas (Analogi Hukum)
Qiyas adalah sumber hukum keempat dalam Mazhab Hanafi dan digunakan secara luas.
Mengapa Mazhab Hanafi sering menggunakan Qiyas?
- Imam Abu Hanifah meriwayatkan hadis lebih sedikit dibanding imam lain karena ketatnya kriteria penerimaan hadis di Irak.
- Zamannya lebih awal dibanding imam lainnya, sehingga lebih sedikit hadis yang sampai kepadanya.
- Terpengaruh dengan metode fiqih di Kufah, yang diwarisi dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud.
- Beberapa prinsip ushul fiqh Mazhab Hanafi, seperti menganggap dalil umum dalam Al-Qur’an sebagai qath’i sehingga tidak bisa dikecualikan kecuali oleh dalil qath’i lainnya.
- Banyaknya kejadian baru yang muncul di Irak, menuntut penggunaan qiyas untuk menetapkan hukum.
- Munculnya fiqih taqdiri (hipotetis), yaitu pembahasan hukum untuk kejadian yang mungkin terjadi tetapi belum terjadi.
Abu Hanifah tetap mengutamakan qiyas atas hadis ahad yang tidak memenuhi syarat ketat penerimaan hadisnya. Jika suatu masalah tidak memiliki dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, atau Ijma’, maka ia menggunakan qiyas dengan mempertimbangkan maslahat umat.
Karena sering menggunakan qiyas, Abu Hanifah dan para pengikutnya dikenal sebagai Ash-habul Ra’yi (para ahli nalar dan logika).
5- Perluasan dalam Istihsan
Istihsan adalah menyimpang dari suatu masalah dari analoginya ke hukum lain karena adanya alasan yang lebih kuat yang menuntut penyimpangan tersebut.
Mazhab Hanafi banyak menggunakan istihsan. Imam Abu Hanifah memperluas penggunaan prinsip ini. Ia menggunakan qiyas selama qiyas itu benar, tetapi jika qiyas terlihat tidak sesuai, ia lebih memilih istihsan dengan mempertimbangkan kebiasaan masyarakat. Ia berkata: “Saya beristihsan dan meninggalkan qiyas.”
Banyaknya penggunaan istihsan oleh mazhab Hanafi menjadi bahan kritik dari mereka yang tidak memahami konsep istihsan menurut Hanafi. Sampai-sampai ada yang berkata bahwa “istihsan adalah mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa”. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata: “Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syariat sendiri.”
Namun, kritik ini sebenarnya muncul karena ketidaktahuan terhadap hakikat istihsan yang dimaksud oleh mazhab Hanafi. Sebab, istihsan pada hakikatnya kembali kepada dalil-dalil syar’i yang sahih, seperti Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, atau bahkan qiyas itu sendiri.
Jenis-jenis Istihsan
Mazhab Hanafi membagi istihsan menjadi beberapa jenis berdasarkan dasar yang menjadi alasan penyimpangan dari qiyas:
- Istihsan karena Nash: Yaitu menyimpang dari qiyas yang tampak kepada hukum yang berlawanan berdasarkan dalil syar’i, seperti akad salam dan ijarah. Menurut qiyas, akad-akad ini seharusnya tidak sah, tetapi tetap diperbolehkan karena ada dalil dari syariat.
- Istihsan karena Ijma’: Yaitu menyimpang dari qiyas yang tampak ke hukum lain berdasarkan ijma’, seperti sahnya akad istishna’ (pesanan produksi) yang didasarkan pada ijma’.
- Istihsan karena Darurat: Yaitu meninggalkan qiyas karena adanya kebutuhan mendesak, seperti dalam hukum menyucikan kolam atau sumur yang terkena najis. Secara qiyas, air dalam sumur atau kolam yang terkena najis seharusnya tidak bisa disucikan hanya dengan menambahkan air. Namun, karena kebutuhan, maka dilakukan penyucian dengan cara yang berbeda.
- Istihsan karena Qiyas Khafi (qiyas tersembunyi): Yaitu suatu kasus memiliki dua alasan yang memungkinkan adanya dua qiyas yang berbeda, salah satu lebih tersembunyi dari yang lain. Contohnya, air liur burung yang dagingnya haram. Secara qiyas, seharusnya air liurnya najis, tetapi karena burung meminum dengan paruhnya yang bersih, maka air liurnya dianggap suci.
Itulah jenis-jenis istihsan dalam mazhab Hanafi, meskipun ada ulama yang tidak menyebut semua kategori ini sebagai istihsan karena dalam beberapa kasus hukumnya tetap dikaitkan dengan dalil dari nash atau ijma’.
6- Pendapat Sahabat
Mazhab Hanafi menjadikan pendapat sahabat sebagai hujjah (dalil hukum) karena mereka menganggap pendapat sahabat didasarkan pada sumber dari Nabi ﷺ. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah berkomitmen untuk mengikuti pendapat sahabat dan tidak keluar dari pendapat mereka.
Mazhab Hanafi merinci hukum pendapat sahabat sebagai berikut:
- Pendapat sahabat yang tidak bisa dihasilkan dengan qiyas, hukumnya pasti menjadi hujjah, karena dianggap berasal dari Nabi ﷺ.
- Pendapat sahabat yang bisa dihasilkan dengan qiyas, sebagian besar ulama Hanafi tetap menganggapnya hujjah dan menyamakannya dengan Sunnah. Namun, ada juga sebagian ulama yang tidak menganggapnya sebagai Sunnah.
- Ada ulama yang membedakan antara sahabat tertentu, dengan mewajibkan mengikuti Khalifah Rasyidin dan sahabat-sahabat utama. Ada yang mewajibkan mengikuti empat khalifah saja, dan ada yang hanya mewajibkan mengikuti Abu Bakar dan Umar saja.
Pendekatan Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya menunjukkan bahwa mereka tidak pernah menyelisihi pendapat sahabat yang tidak memiliki perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Kesimpulannya, pendapat sahabat yang tidak memiliki lawan pendapat adalah hujjah menurut mayoritas ulama Hanafi, baik dalam perkara yang tidak bisa dikias maupun yang bisa dikias. Jika ada perbedaan pendapat, maka dilakukan tarjih (penentuan pendapat yang lebih kuat).
7- Adat (Urf)
Adat (urf) didefinisikan sebagai: “Sesuatu yang sudah mengakar dalam jiwa berdasarkan akal sehat dan diterima oleh tabiat yang lurus.”
Semua mazhab fiqh mengakui adat (urf) sebagai sumber hukum yang memiliki pengaruh besar dalam berbagai ketetapan fiqih.
Kaedah penting dalam urf adalah:
“Sesuatu yang dikenal secara adat sama dengan sesuatu yang disyaratkan dalam akad.”
Jenis-jenis Urf
- Urf Perkataan (Qauli) dan Urf Perbuatan (Amali).
- Urf Umum dan Urf Khusus.
- Urf yang Diterima dan Urf yang Ditolak (karena bertentangan dengan syariat).
Mazhab Hanafi tidak membedakan antara urf perkataan dan urf perbuatan.
Menurut Ibn Abidin, urf umum berlaku sebagai hukum umum selama tidak bertentangan dengan dalil syar’i, sedangkan urf khusus berlaku dalam lingkup terbatas.
Jika urf bertentangan total dengan syariat, maka tidak dianggap. Jika pertentangan hanya dalam beberapa aspek, maka urf umum bisa menggugurkan qiyas, sedangkan urf khusus tidak bisa menggugurkan qiyas.
8- Istishlah (Maslahat Mursalah)
Istishlah adalah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan syariat.
Mazhab Hanafi tidak menyebut istishlah sebagai dalil tersendiri, tetapi mereka menggunakannya dalam bentuk istihsan darurat dan siyasah syar’iyyah (kebijakan hukum Islam).
9- Istishhab
Istishhab adalah menetapkan suatu hukum berdasarkan keadaan yang sudah ada sebelumnya, selama tidak ada dalil yang mengubahnya.
Mazhab Hanafi membagi istishhab menjadi:
- Istishhab akal: Berlaku jika hukum diketahui secara akal.
- Istishhab syar’i: Hukum yang sudah tetap dalam syariat dan tidak ada dalil yang membatalkannya.
Sebagian ulama Hanafi menolak istishhab sebagai hujjah, sedangkan sebagian lainnya menerimanya hanya sebagai dasar membela diri (defensif), bukan sebagai dalil yang bisa dipaksakan kepada orang lain.
10- Syariat Umat Sebelumnya
Menurut Mazhab Hanafi, syariat umat sebelum kita menjadi hujjah jika:
- Dinyatakan dalam syariat Islam tanpa ada pembatalan → maka menjadi hukum bagi kita.
- Dinyatakan dalam syariat Islam tetapi dihapus → maka tidak berlaku bagi kita.
- Tidak disebut dalam syariat Islam → maka tetap dianggap hukum bagi kita hingga ada dalil yang menasakhnya.