Ikram:
Assalamualaikum Le! Balik lagi bareng gua IkramF dan juga…
Ustaz Arifin:
…saya Arifin Nugroho di acara…
Ikram & Ustaz Arifin (bareng):
Ngopi Bareng Ustadz!
Ikram:
Ustaz tahu enggak episode kita yang pertama-pertama itu yang tentang hopless romantic pernikahan muda, ternyata itu banyak yang nonton dan lumayan banyak yang nanya ke Ikram Ustaz he dan kita bakal bahas hari ini Ustaz oke oke nih pertanyaannya Ustaz cowok-cowok zaman sekarang itu banyak yang pengin nikah muda cuman mereka ini belum mapan, tapi cewek-cewek bilangnya aku siap kok nemenin kamu dari nol tapi kenyataannya tetap aja nyari yang udah jadi Heeh He nah itu gimana Ustaz Iya ja
Ustaz Arifin:
Nah, itu gimana, Ustaz? Iya, jadi penginnya tuh… saya nggak apa-apa kok nemenin dari nol, siap susah, siap capek, tapi… yang penting rumah udah ada, mobil udah ada… Mobil? Ah, ada… Terus kerjaan juga udah ada… Ini nolnya mulai dari mana, ya? Nolnya ketika sudah mulai pernikahan dengan ekonomi yang lancar, mungkin? Iya, iya gitu ya. Oke, dari nol, tapi kerjaan sudah mapan. Jadi begini, teman-teman, orang banyak yang takut nikah, ya. Takut nikah karena dunia. Bukan cuma orang yang mau menikah, kadang-kadang orang tuanya juga. Kalau orang tua nerima yang ngelamar anak perempuannya, gitu ya… itu yang ditanyain pertama:
“Gaji berapa?”
“Iya, udah punya apa?”
Kadang-kadang mereka nggak mikir juga. Padahal dulu waktu dia menikah, juga sama-sama berdarah-darah dengan istrinya. Dan sekarang? Sukses-sukses saja, jalan-jalan aja tuh…
Jadi sebenarnya, kalimat yang tadi disampaikan, “Siap mulai dari nol,” itu sudah bagus banget. Terus yang laki-laki juga punya keinginan untuk menikah, itu juga sudah bagus banget. Tapi semua yang bagus itu, sekali lagi, setan tidak akan pernah berhenti di situ. Setan pasti akan mencoba menggerogoti keinginan baik itu dengan berbagai macam rasa takut. Jadi teman-teman harus tahu, segala rasa takut orang ketika dia ingin melakukan satu aktivitas ibadah, itu pasti… setan sumbernya.
Makanya Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan, gitu loh: Kalau kamu ingin menikah dan kamu itu “in yakunuu fuqara” — kalau kamu fakir — maka Allah yang akan mengayakan. Allah yang akan mencukupkan. Allah yang akan memberi. Kalau sampai sudah dinas dalam Al-Qur’an, itu berarti memang sesuatu yang pasti akan menjadi senjatanya setan.
Makanya senjatanya setan itu kayak gini:
“Ya saya sudah betul-betul pengin menikah nih, sudah cocok juga sama dia. Dia juga orangnya baik, apa segala macam… Tapi—”
Nah, begitu ada kata “tapi”—itu pasti dunia. Jangan sampai ada kalimat,
“Saya terima apa adanya, yang penting rumah ada ya… yang penting gaji sudah cukup…”
Enggak, enggak, enggak. Kita harus yakin betul. Bahkan di sinilah ujian akidah kita. Oke, ujian akidah kita itu adalah, kalau kita yakin bahwa salah satu Asmaul Husna, salah satu nama Allah adalah Ar-Razzaq, yang Maha Memberi Rezeki—nah, di sinilah kita diuji.
Terus sekarang pertanyaannya dibalik:
Kalau saya menikahi orang yang sudah mapan, apakah dia akan terus begitu dan akan terus kaya? Tidak. Tidak kan? Nanti lama-lama… jangan-jangan:
“Oke, kamu sudah kaya. Tapi tolong dong, kasih jaminan buat saya. Sampai kamu mati, kamu terus kaya.”
Akhirnya… repot juga dong? Nggak ada yang pasti di dunia ini.
Misalkan contoh: menikahi orang dalam kondisi sehat. Apakah akan terus sehat? Belum tentu. Mungkin baru nikah 2-3 hari… stroke. Nggak tahu. Iya kan? Kalau menikahi orang kaya, belum tentu juga. Jangan-jangan habis… kebakaran pabriknya. Dan begitu juga sebaliknya.
Jadi semua itu… setan—yang membisikkan kepada orang yang sudah punya niat baik:
“Jangan kamu nikah sama dia.”
“Kenapa?”
“Dia miskin. Dia belum punya apa-apa. Dia cuma modal semangat. Nggak bisa!”
Udah, terus begitu. Mau datang yang kaya?
“Dia kaya juga kayaknya cuma warisan.”
Jangan terus begitu. Datang orang yang mapan?
“Mapan sekarang. Jangan-jangan besok dia hancur perusahaannya.”
“Banyak selingkuhannya.”
Banyak selingkuhannya tuh…
Akhirnya… udah, nggak nikah-nikah.
ikram:
“Nah, tapi apakah termasuk dosa, Ustaz? Dalam arti, gini… Kan Allah sudah menjanjikan: barang siapa yang melakukan pernikahan, itu kan setengah agama; dan Allah akan menjanjikan rezeki yang lebih baginya. Tapi kita enggak percaya di situ, kan? Bahwa, ‘Ah, takutnya entar gua sudah nikah, gua enggak mampu ngehidupin dia,’ dan sebagainya. Apakah itu salah satu tanda bahwa kita enggak percaya sama Allah dan terhitung dosa, Ustaz?”
Ustaz Arifin:
“Ketika seseorang menafikan bahwa Allahlah yang memberi rezeki, dan dia tidak percaya dengan rezeki yang sudah ditakdirkan, maka itu dosa. Tapi kalau rasa takutnya itu lahir sebagai bentuk tanggung jawab, misalnya: ‘Duh, saya sudah menikah nih; saya sudah punya istri, dan mungkin nanti tidak lama saya punya anak. Saya takut, kalau kondisi saya masih begini-begini saja, bagaimana dengan rezeki saya ke depan?’—lalu akhirnya dia jadi lebih giat bekerja untuk menghilangkan rasa khawatir itu, maka itu enggak apa-apa. Justru itu bagus.
Karena manusia memang di-drive oleh rasa takutnya itu. Di situlah dia akan terus mencoba menjaga eksistensinya. Contoh: karena dia takut dengan harimau atau binatang buas, dia bikin rumah. Karena takut dengan penyakit, dia bikin obat. Karena takut tidak bisa menafkahi keluarganya setelah menjadi kepala rumah tangga, dia berusaha lebih keras lagi.
Jadi, beda ya… Lihat dulu takutnya seperti apa. Kalau takutnya sampai menafikan keberadaan dan kekuasaan Allah, itu dosa. Tapi kalau takutnya justru membuat dia lebih giat, lebih tangguh, dan lebih semangat dalam menjemput rezeki, maka itu adalah bentuk ikhtiar yang baik.”
Ikram:
Oke. Tapi kalau menurut Ustaz pribadi — sebagai sesama pria — atau menurut agama, lebih baik menikah setelah punya rumah, atau sebelum punya rumah? Karena banyak, maaf Ustaz, banyak cewek yang bilang, “Gue nggak mau campur sama mertua,” karena katanya banyak bentrok; beda didikan, beda kebiasaan, dan lain-lain. Nah, itu gimana, Ustaz? Lebih baik yang mana?
Ustaz Arifin:
Jadi, sebenarnya menikah itu hukumnya ada lima: bisa jadi wajib, bisa jadi sunnah, mubah, makruh, bahkan haram. Ini penting untuk dipahami dulu, supaya nanti jawabannya bisa tepat.
Nikah menjadi wajib bagi seseorang kapan? Yaitu ketika kalau dia tidak menikah, dia bisa terjatuh ke dalam zina. Maka, saat itu menikah hukumnya wajib.
Nikah sunnah adalah ketika menikah itu bagus, berpahala, tapi kalau tidak menikah pun tidak masalah. Dia tidak akan zina, hidupnya tetap lurus. Tapi kalau dia menikah, bisa lebih menjaga dirinya. Maka ini sunnah.
Nikah mubah adalah ketika menikah atau tidak menikah itu tidak berdampak besar dalam hidupnya. Mau menikah, silakan. Tidak menikah pun tidak mengapa.
Nikah makruh adalah ketika menikah justru dikhawatirkan membawa mudarat. Contohnya: jangan-jangan dia menikah tapi malah menyengsarakan anak orang. Kerja belum tetap, tanggung jawab belum kelihatan, bangun jam 11 siang, malam begadang, tiba-tiba mau menikahi anak orang. Nah, ini bisa masuk ke makruh.
Nikah haram kalau tujuannya adalah untuk maksiat. Misalnya, “Saya mau nikahi dia biar saya bisa racuni, biar dia mati, hartanya buat saya.” Nah, kayak sinetron tuh — itu haram.
Jadi, kalau ada pertanyaan: “Lebih baik menikah setelah mapan atau belum mapan?” Jawabannya: mapan atau enggak mapan bukan inti dari hukum menikah. Kalau dia enggak menikah bisa terjatuh ke zina, maka wajib menikah. Soal nanti punya rumah atau enggak, itu urusan takdir dan ikhtiar. Enggak perlu dipikirkan berlebihan.
Ini nasihat buat siapa pun yang ingin menikah tapi takut dengan masalah dunia: jangan terlalu takut. Yang penting adalah ikhtiar kita menjemput rezeki Allah. Itu yang utama.
Dan ketika seorang wanita ingin mencari calon suami, yang dilihat bukan hanya hartanya saat ini, tapi potensi dari pria itu — apakah dia punya niat dan usaha untuk memberikan kebaikan dan masa depan?
Karena banyak banget kisah from zero to hero — dari nol jadi luar biasa. Yang penting adalah potensi untuk naik. Soalnya, yang sudah kaya sekarang pun punya dua kemungkinan: naik atau turun. Yang sekarang belum punya apa-apa pun juga punya dua kemungkinan: naik atau turun.
Carilah yang punya potensi naik. Itu yang akan lebih menjamin kehidupan ke depan.
Memang, banyak orang menikah dengan melihat harta. Dan itu boleh. Karena Nabi bersabda, wanita dinikahi karena empat hal: hartanya, kecantikannya, nasabnya, dan agamanya.
Agama disebut terakhir, tapi Nabi menegaskan: “Jika kamu cukupkan dengan agamanya, maka hidupmu akan damai.”
Artinya apa? Boleh-boleh saja menikahi karena harta atau kecantikan, tapi yang paling utama adalah agama. Jangan sampai cuma lihat nilai “materi”-nya, tanpa melihat “nilai” dari potensi dan agamanya.
Misalnya, ada yang bilang: “Saya maunya nilai 9.” Kenapa? Karena saya nilai diri saya cuma 5, jadi pengen yang bisa naikkan. Nah, standar seperti itu sah-sah saja. Tapi justru yang tidak standar itu bisa jadi lebih baik untuk kehidupan jangka panjang.
Ikram:
Nah, kalau ngomongin soal empat hal tadi — ini nyambung ke pertanyaan selanjutnya, Ustaz.
Kita kadang bingung ketika memilih pasangan, terutama bagi perempuan mencari laki-laki, dan begitu pun sebaliknya. Pertanyaannya begini: apakah dalam memilih pasangan — misalnya untuk jadi istri — kalau kita menemukan wanita yang sudah tidak perawan, kita tetap lanjut atau kita cari opsi lain yang masih gadis?
Karena kita kan enggak tahu ya, Ustaz, sekarang ini di era pacaran, media sosial, pergaulan bebas — banyak yang sudah terjerumus ke dalam maksiat.
Kita sebagai laki-laki pasti pengin mencari sosok ibu yang baik, yang masih terjaga, baik akhlaknya, agamanya, dan seterusnya. Tapi realita kadang tidak sesuai ekspektasi. Nah, ini gimana, Ustaz?
Ustaz Arifin:
Heeh… oh, jadi begini. Ini bukan soal antara janda dengan gadis. Bukan. Tapi kita bahas dulu yang ini — menarik nih — tentang perbedaan antara orang yang pernah terjebak zina dengan yang tidak pernah terjebak zina, gitu ya.
Bagaimana?
Pasti, semua orang punya masa lalu. Iya kan? Masa lalu bisa baik, bisa juga buruk. Tapi yang pasti, kita nggak boleh menafikan bahwa semua orang juga harus punya masa depan.
Nah, kalau kita melihat seseorang yang dulunya punya masa lalu yang kelam, tapi dia sudah bertaubat dengan taubat nasuha, lalu ternyata ketemu tuh chemistry-nya, cocok sifatnya, cocok akhlaknya, cocok tujuannya — ya masa lalu cukup jadi masa lalu.
Asal apa? Asal dia sudah benar-benar bertaubat.
Tapi kalau belum bertaubat?
Nah, kalau belum bertaubat, jangan. Jangan dilanjut. Karena kita takut justru akan dapat keburukan berikutnya. Jadi, ini penting.
Sebagai laki-laki yang cerdas, ya harus bisa melihat dengan kacamata yang lebih jauh.
Tadi bagus tuh Ikram bilang — dia akan mencari istri bukan cuma sebagai pasangan, tapi juga sebagai ibu dari anak-anaknya.
Betul. Karena menikah itu bukan cuma cari istri buat diri sendiri, tapi juga artinya mencari anak buat ibunya, alias dia harus jadi menantu yang baik. Bahkan dia harus mencari pendamping hidup yang siap membersamai saat dia naik.
Makanya, coba pikir,
“Kalau saya jadi Presiden, kira-kira cocok nggak dia jadi ibu negaranya?”
Nah, gitu cara mikirnya.
Ikram:
Oke, tapi kalau misalkan milih, Ustaz, antara gadis atau janda—ohoh, ini pertanyaan yang menarik nih! Iya, kalau kita sebagai laki-laki memilih, kan pasti dua-duanya bikin bingung juga. Aku salah ngomong ya? Kameramannya ketawa-tawa, hehe.
Begini, begini, Ustaz. Lebih pilih mana, Ustaz? Apakah kalau kita misalkan memilih janda, itu ada pahala lebih karena dia survive sendiri, dan kita hidupin? Atau lebih baik bagaimana, Ustaz?
Ustaz Arifin:
Memang ada hadis yang mengatakan bahwa gadis itu lebih bisa membuatmu untuk “bermain-main”. Mungkin maksudnya di sini karena gadis itu manja, ya, belum pernah punya pengalaman atau latar belakang sebelumnya, jadi dia bisa menjadi pendamping pertamaku. Nah, ada yang berpendapat begitu.
Namun, kita juga perlu tahu bahwa meskipun ada hadis yang mengatakan demikian, praktik Nabi justru berbeda. Istri pertama Nabi Muhammad ﷺ adalah Khadijah radhiallahu ‘anha, dan beliau sudah pernah menikah sebelumnya. Nah, itu artinya apa? Artinya dua pilihan ini—antara gadis atau janda—bukan merupakan aturan yang saklek atau mutlak.
Kalaupun kita membaca hadis yang menganjurkan untuk menikahi gadis, bukan berarti menikahi janda itu lebih buruk. Buktinya, Nabi sendiri pernikahan pertamanya dengan seorang janda.
Lalu, bagaimana mendudukkan dua dalil ini—satu berupa sabda Nabi, dan satu lagi berupa perbuatan Nabi?
Jawabannya: yang dilihat adalah maslahatnya. Maslahat untuk akhirat, ya, bukan sekadar maslahat dunia.
“Oh, kalau begitu saya lihat yang mana yang kaya,”—ya, itu terserah juga sih, bebas. Tapi yang jelas, yang paling utama adalah melihat mana yang lebih memberi maslahat untuk akhirat.
Kita cerita soal seseorang yang banyak dilamar, misalnya. Janda ada lima yang minat, gadis juga ada lima. Wah, banyak pilihannya! Ya sudah, tinggal dilihat saja: kira-kira mana yang lebih banyak memberikan maslahat untuk akhiratnya?
Ikram:
Oke, ini pertanyaan terakhir, teman-teman. Saya sempat lihat ada pro-kontra waktu itu, Ustaz, di Twitter. Begini, apakah seorang pria ataupun wanita, ketika mau menikah satu sama lain, boleh menanyakan hal-hal yang agak privasi, Ustaz?
Misalnya, si laki-laki bertanya: “Apakah kamu subur? Bolehkah kita cek dulu?”
Lalu yang kedua, si laki-laki juga bertanya: “Apakah kamu masih suci atau perawan?”
Atau sebaliknya, si perempuan bertanya: “Apakah kamu sudah pernah melakukan hal seperti itu dengan wanita lain?”
Nah, sebenarnya itu boleh nggak sih, Ustaz, ditanyakan sebelum menikah?
Ustaz Arifin:
Jadi, kalau dalam agama Islam memang tidak ada aturan khusus mengenai apa yang harus kamu tanyakan atau tidak tanyakan sebelum menikah. Tidak ada ketentuan yang mengatur hal itu secara rinci. Namun, ada sebuah kisah tentang seorang sahabat Nabi yang bernama Abdurrahman ibn Auf. Suatu saat, dia datang kepada Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, saya ingin menikah. Saya sudah ada calon, saya ingin menikah.”
Nabi hanya bertanya, “Kamu sudah melihat orangnya belum?”
Abdurrahman menjawab, “Belum.”
Lalu Nabi berkata, “Unzur ilaiha”, yang artinya “Lihatlah dia terlebih dahulu.”
Nabi mengajarkan untuk melihat terlebih dahulu calon pasangan karena itu akan membuat pernikahan lebih langgeng dan harmonis.
Kalimat “Lihatlah” ini bisa dipahami dalam banyak hal, tidak hanya dalam konteks fisik saja. Mungkin kita bisa melihat dari sisi fisik, tetapi lebih dalam lagi, kita bisa menilai dari sisi akhlak, kesabaran, dan karakter seseorang. Bisa juga melihat bagaimana kondisi kesehatannya, dan hal-hal lain yang dirasa perlu.
Tentu, ini juga akan dikembalikan pada urf atau kebiasaan yang ada di masyarakat setempat. Dalam istilah syariat, urf adalah kebiasaan yang lazim di daerah tersebut. Kebiasaan di setiap tempat bisa berbeda-beda.
Contoh, jika di satu daerah, memiliki istri janda adalah kebanggaan, maka itu adalah bagian dari urf di daerah tersebut. Namun, di tempat lain, mungkin pandangannya berbeda. Itu yang disebut urf, atau kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat sebagai nilai atau adat.
Jadi, kalau misalnya di suatu masyarakat, urf-nya adalah untuk mengecek segala hal sebelum menikah—misalnya, tabungan, kesehatan, bahkan aib-aib yang mungkin ada—ya, itu boleh dilakukan. Namun, kalau di tempat lain, kebiasaan orang mungkin tidak begitu, dan yang penting adalah bagaimana mereka menjalani kehidupan bersama ke depannya, maka itu juga sah. Yang penting adalah niat untuk saling memperbaiki dan menjalani kehidupan bersama.
Ikram:
Oke, ini menarik ya teman-teman. Kalau ngobrolin soal nikah di era sekarang, ada yang bilang kata “nikah” itu cukup sensitif. Ada yang sudah menikah, ada yang belum. Ada yang berpendapat, “Udah, nikah dulu deh, terus bisa puas-puasin jalan-jalan, traveling,” sementara yang belum nikah, “Aduh, pengin nikah, nih!” Jadi, memang ada plus minusnya, Ustaz, ya?
Nah, kalau kalian nih, udah tahu jawabannya, apa sekarang bisa mulai cari calon? Mungkin bisa juga ketemu di kolom komentar, nggak sih? Asik, ya! Hehe.
Iya, iya, nah buat teman-teman, kalau mungkin masih punya pertanyaan seputar pernikahan atau hal lainnya, boleh banget tulis di kolom komentar di bawah. Kasih pertanyaan kalian, nanti kita bakal jawab bareng Ustaz. Jadi, kalian bisa langsung like, subscribe, dan aktifkan juga loncengnya di channel YouTube kita, BPKH RI, dan tungguin videonya setiap hari, karena bakal nemenin kalian.
Kalau gitu, saya Ikram Afro dan juga Ustaz Arifin Nugroho pamit undur diri. Sampai ketemu besok. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.