HARMONI INDONESIA

Rumahku Surgaku I


Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

SESI 1

Segala puji hanya bagi Allah, selawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad sallallahu alaihi wasallam. Jemaah Masjid Al-Amanah Pondok Gede dan Majelis Taklim Mahmudah, beserta pemirsa Harmoni Indonesia Garuda TV, di mana pun Anda berada, alhamdulillah pada kesempatan hari ini semua dalam kondisi sehat wal afiat. Aamiin.

Kalau dilihat dari wajahnya, masyaAllah, wajah-wajah baiti jannati. Aamiin. Apa itu baiti jannati? Rumahku surgaku. Kalau rumahnya baik, maka keluar dari rumah juga mukanya baik. Kalau rumahnya ruwet, keluar dari rumah juga ruwet. Kalau ini kelihatan dari rumah, kayaknya rumahnya baik, jadi keluar ke sini nih, masyaAllah, ini wajah-wajah bercahaya. 

“Aamiin.”

Aaminnya kenapa kurang?

“Aamiin!” 

Oh iya iya, saya takut kalau itu ragu. Enggak, insyaAllah, ya Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan pemirsa semua yang ada di rumah, insyaAllah kita akan mencoba melihat bagaimana rumah tangga yang baik, keluarga yang bahagia, sebab itu akan menjadikan sebuah bangsa dan negara itu sejahtera.

Tadi diawali dengan baiti jannati, rumahku surgaku. Tentu ini adalah majaz, majaz itu bukan sesuatu yang hakiki, ya. Kenapa? Karena kalau kita bicara surga, surga itu di akhirat. Belum ada surga dan belum ada surga yang pernah kita dengar, atau belum pernah ada surga yang kita rasakan, sebab surga itu nanti di akhirat. Tetapi ada istilah kalau rumah itu bisa menjadi surga. Surga memang bukan surga di akhirat, tetapi rumah itu rumah yang dirasakan oleh mereka yang tinggal di dalamnya seperti surga. Ada orang yang ketika lelah bekerja di luar, itu yang ada di pikirannya adalah segera pulang ke rumah. Pokoknya, ya Allah, ini udah capek banget, penginnya pulang ke rumah gitu. 

Walaupun ada di luar sana, bukan di sini, di luar sana, ada orang yang kalau lagi mau pulang ke rumah, gemeteran, “Aduh, pulang ya?.” Kenapa? Karena suasana rumahnya itu bak neraka. Sudah di luar capek, pulang ke rumah tambah hancur. Sudah jatuh, ketimpa tangga. Sehingga rumah adalah sesuatu yang paling tidak dia sukai. Nauzubillah.

Kalau kita sebagai seorang Muslim, Nabi sallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa tempat terbaik untuk seorang Muslim itu adalah rumahnya. Bagaimana rumah dijadikan berbagai macam aktivitas baik, dan rumah itu adalah awal dari setiap kebaikan dimulai. Makanya disebut baiti jannati. 

Nah, kita mau lihat gimana sih rumah yang bisa jadi surga? Ya tinggal kita lihat sifat-sifat ahli surga. Apa sifat ahli surga? Sifat ahli surga itu 

Satu, suka dengan segala hal yang ada nilai kebaikan. Itu sifat ahli surga. Pokoknya, kalau namanya di surga itu yang baik-baik ada di sana. Sampai Nabi mengatakan, “Ma ainun ro’at, wala udun sami’at, wala khatar ‘ala qalbi bashar.” Namanya surga itu, belum pernah ada mata yang melihat, belum pernah ada telinga yang mendengar, bahkan belum pernah terbayang dan terbetik di pikiran manusia, saking apa? Saking indahnya.

Pernah ketika malaikat Jibril, saat surga diciptakan, diminta untuk melihat surga, Jibril alaihi salam saja takjub luar biasa. Bahkan ketika melihat itu, dia menyampaikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Tidak ada hambamu yang tidak ingin untuk bisa masuk ke dalam tempat ini, saking indahnya.” Dan itu dihiasi dengan amal saleh, amal baik.

Jadi, pemirsa Harmoni Indonesia Garuda TV, dan semua jemaah Masjid Al-Amanah, kalau kita lihat dari apa yang ada di surga, kalau mau dipraktikkan ke rumah, rumah harus bisa menjadi tempat di mana orang beramal saleh. Anggota keluarganya beramal saleh. 

Makanya kalau ditanya, untuk Bapak-bapak, salat fardu terbaik di mana? Masjid. Tapi kalau salat sunah di rumah. Gitu. Kalau Bapak-bapak ini, kalau dalam fikih, kalau salat Jumat di masjid, kalau mau salat sunah setelahnya, kalau salat sunahnya itu di masjid, empat rakaat. Tapi kalau salat sunahnya di rumah, dua rakaat. Kenapa beda? Kenapa kalau di masjid harus empat, sedangkan di rumah cuma dua? Kira-kira, banyak mana jumlahnya? Banyak empat. Capek mana? Capek empat. Jadi ada istilah di sana ajakan agar ketika orang itu beribadah dibawa ke rumah. Nah, dibawa ke rumah. Kan ada orang mikir, “Kalau di masjid empat, di rumah dua.” Ah, sudahlah, kalau gitu ke rumah aja dua, sehingga nanti salat di rumah. Rumahnya jadi tempat di mana dia melaksanakan amal saleh.

Nabi menyampaikan, kalau ada rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an, maka rumah itu seperti apa? Kuburan. Nabi mengatakan, “La tajalu buyutakum maqabir.” Jangan kamu jadikan rumah-rumah kalian itu seperti kuburan. Gimana rumah yang seperti kuburan? Bukan rumah yang ada nisannya di pojokan. Bukan. Tapi rumah yang tidak pernah dibacakan Al-Qur’an.

Kalau dari wajahnya ini, masyaAllah, rata-rata sehari 3 juz. 

“Aamiin”.

Terus apalagi? Nabi sallallahu alaihi wasallam pernah menyampaikan ada keluarga yang diberkahi. Bagaimana keluarga yang diberkahi? Kalau keluarga itu di sepertiga malam, ada salah satu di antara suami-istri ini bangun, lalu dia salat malam. Selesai salat malam kan baru satu, ya? Entah suaminya, entah istrinya selesai dari salat malam yang dua rakaat. Dibangunkan pasangannya. Kalau pasangannya nggak mau bangun, diambil air, dicipratin. Masih nggak mau bangun, diambil air 1 em…?

“hahahahahahha”.

Ya, ini kalau dilihat masyaAllah, ini yang ada yang tak tampak kamera para bapak-bapak juga ya. Ini kalau saya yakin ini sudah keluarga-keluarga yang tiap malam sudah saling membangunkan. Ya malam Senin, bangunin Pak suaminya, bangun, temenin toilet. Nah, ya itu.

Kalau rumah ini dibuat rumah, bagaimana rumah itu menjadi tempat di mana ibadah itu ditegakkan. Kadang-kadang, masyaAllah, di tempat kita itu kan coba bayangkan, baru masuk rumah saja, itu sudah langsung disambut dengan kaligrafi. Kaligrafinya minimal apa? Ayat Kursi. Kaligrafi minimal Al-Ikhlas. Ada yang lebih lagi kaligrafinya, Al-Baqarah. Jadi begitu masuk, langsung yang dilaksanakan amal saleh itu yang pertama. 

Jadi bagaimana kita menjadikan rumah itu sebagai tempat di mana amal saleh dikerjakan terus.

SESI 2

Jemaah sekalian dan pemirsa Harmoni Indonesia Garuda TV, di mana pun Anda berada, berikutnya yang bisa membuat rumah kita ini menjadi surga adalah perilaku orang yang ada di dalamnya. Karena namanya surga itu disebutkan beberapa sifat orang yang ada di dalamnya. 

Satu, qolusan salamah, salamah, bagaimana perkataannya? Itu perkataan yang baik-baik. Yang keluar itu kalimatnya yang indah-indah. Makanya Nabi sallallahu alaihi wasallam, beliau itu ada panggilan khusus untuk istrinya. Kalau memanggil ibunda Aisyah radhiallahu anha, panggilannya “Humairo,” wahai yang pipinya kemerah-merahan. Ibu pernah dipanggil begitu sama suami? Belum? Jedotin Buk. Entar dipanggil. Kalau pun belum, nggak apa-apa. Memang nggak harus Humairo. Kenapa? Karena semua punya panggilannya masing-masing. Mungkin ada yang anak-anak sekarang panggilannya apa? Kalau anak sekarang itu ayang Bebeb. Ya, asal jangan kepecelele Pak Bu. Ya, kenapa ditakut ayam ini? Ayam Bebek gitu. Ada panggilan masing-masing. Woh, itu ngikut itu.

Ini rumah tangga yang kalau di dalam rumah itu semua kalimat orang yang keluar itu kalimat yang baik-baik, maka insyaAllah itu akan menjadi jannati, surgaku. Maka dijaga kalimat kalimat ini karena kadang-kadang dari kalimat ini ini bisa menghasilkan suasana baik dan dengan kalimat bisa menghasilkan suasana buruk ya

Suami pulang kerja, rasanya sudah senang banget, sudah nggak sabar mau ketemu istrinya. Tapi, tiba-tiba pas suami datang, istrinya cuma ngomong begini, “Pak, tetangga beli mobil baru.” Itu kalimatnya nggak panjang, kan? Pendek banget. Lalu istrinya cuma nambahin, “Saya nggak minta, cuma ngasih tahu.” Tetangga beli mobil baru, padahal kayaknya gajinya lebih banyak daripada suami. Wah, langsung deh, hati suami gundah-gulana begitu mau berangkat kerja, itu lagi yang dititipin, “Ingat Pak, tetangga beli mobil baru.” Akhirnya sampai di kantor, itu yang terpikir. Ya, nauzubillah, bisikan setan masuk. Akhirnya apa?

“KORUPSI”

Nah, kan tahu, berarti kadang-kadang korupsi yang dilaksanakan oleh para suami diawali oleh? 

“istri”. 

HAHAHAH Enggak, enggak, enggak, bukan begitu. Tapi ada potensi yang kadang-kadang begitu. Maka, dijaga saja, dijaga semuanya. Bapak-bapak juga begitu. Kadang-kadang, istri sudah capek, segala aktivitas rumah dikerjakan. Jangan dikira, namanya istri di rumah itu enggak lebih capek dibanding suami yang bekerja. Belum tentu. Kadang-kadang, suami kerja enak, berangkat naik mobil, tidur, kan begitu. Sampai di kantor, asik. Begitu pulang, juga sudah santai lagi.

Suami? Istri di rumah, ya Allah. Begitu suami pergi, ngelihat cucian habis, ngelihat penggorengan habis, itu ngelihat setrikaan habis, ngelihat sapu habis, ngelihat piring centong. Pulang-pulang, ngelihat wajah suaminya. Kan begitu, kan? Ya, wajar kalau mungkin pulang dalam kondisi yang masih agak ruwet. Tapi masih ruwet, begitu, suami juga harus mampu untuk bisa mengeluarkan kalimat-kalimat yang baik. Jangan sampai masalah di tempat kerjanya dibawa ke rumah terus dalam kondisi cemberut. Bayangkan itu celah-celah ketika mereka yang ada di dalam rumah tidak mampu untuk bisa menjaga kalimat-kata yang keluar. Maka, bagaimana bisa dibayangkan setan akan masuk dan merusak rumah tangga itu!

Banyak kasus perceraian terjadi. Nauzubillah. Itu kadang-kadang bukan masalah apa-apa, tapi hanya sekedar kalimat. Ya, hanya sekedar karena kata-kata sehingga akhirnya keburukan terjadi. Maka jaga lisan. Kata Nabi sallallahu alaihi wasallam, “Barang siapa yang mampu untuk bisa menjaga lisannya, man hafidha baina shafataihi…” Barang siapa yang mampu menjaga di antara kedua lisannya, kedua bibirnya, adman lahu al-jannah, maka aku jamin dia dapat surga. Nah, ternyata yang dijamin bukan cuma nanti surga di akhirat, di sini juga begitu. Makanya, kenapa di antara rahasia ada kisah, Bapak Ibu, 

Ada kisah ketika Nabi sallallahu alaihi wasallam mendapat mendapat wahyu pertama di mana? Di Gua Hira. Di Gua Hira, ketika mendapat wahyu pertama itu, kaget, takut, cemas. Kenapa? Karena Nabi belum pernah jumpa dengan satu makhluk yang dalam bayangannya itu mengerikan, karena belum pernah jumpa. Kan, bayangkan, di tempat gelap, di atas bukit, di dalam goa, tiba-tiba disekap dan yang menyekap bukan manusia. Jangankan begitu. Kalau kita lewat di depan kuburan jam 12 malam saja, ini enggak pakai disekap, enggak pakai disekap. Ada putih lewat terbang, kira-kira gimana? Kabur! Padahal itu jemuran tetangga jatuh, cuma karena warnanya putih, takut. Bayangkan ini Nabi, Nabi disekap, enggak tahu siapa itu yang menyekap, sampai sesak dada beliau. Hanya mengatakan, “Iqra’ bacalah, iqra’ bacalah.” Begitu selesai, keluar dilihat, ternyata makhluk ini, itu ujung sayapnya saja ma saddama baina al-ufuq menutupi langit dari timur ke barat, sehingga Nabi harus lari pulang terengah-engah, sampai di rumah enggak bisa ngomong lagi. Badannya sudah panas, menggigit Khadijah kala itu hanya sekedar ketika Nabi mengatakan, “Zammiluni, zammiluni, datiriluni, datiruni, ya selimuti aku, selimuti aku.” Khadijah tidak banyak ngomong, hanya diselimuti saja.

Dan ketika melihat suaminya begitu, coba kita lihat bagaimana ini keluarga Khadijah radhiallahu anha. Hanya mengatakan, “Wahai suamiku, aku yakin bahwa makhluk yang menemui menemuimu itu makhluk baik, karena aku yang paling tahu tentang siapa engkau. Engkau orang yang tidak pernah memutus silaturahmi, engkau yang selalu membantu orang yang susah, engkau yang selalu memberikan kebaikan di sana, di sini, maka aku yakin makhluk yang datang adalah makhluk baik.” Nabi langsung bisa tenang.

Coba bayangkan kalau begitu Nabi datang, yang diomongin, “Papa sih, ah, sudah diomongin, jangan pergi ke sana-sana, ah, masih aja, kan sekarang ketemu batunya.” Kira-kira gimana? Iya kan? Tapi kira-kira kebanyakan sekarang, kalau istri menenangkan atau menegangkan? 

Menenangkan? 

Alhamdulillah. Sebab yang ngaji pasti insyaAllah tahu bahwa kalimat-kalimat baik itu adalah sesuatu yang mampu menjadikan rumah menjadi surga. Kalimat baik itu macam-macam. Motivasi, kalimat baik itu mendoakan. Itu juga penting. Jadi, kalau ada apa-apa, jangan lupa. Rumah yang baik adalah rumah yang selalu terhubung dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalau ada sesuatu, langsung saja kita itu punya Rabb yang Maha Kuasa membuka pintu untuk hamba-Nya 24 jam. Ya, jadi kalau lagi ada apa-apa, gelar sajadah, salat dua rakaat, angkat tangan, ya, semua sampaikan kepada Allah, “Ya Allah, Suami hamba, Ya Allah, memang dari awal sudah pelit begitu, tapi tolong ya Allah untuk kali ini, sebab mau ada hajat yang mau dibeli, anak mau begini, apa segala macam.” Silakan aja, enggak apa-apa kalau sama Allah. Jangan sama tetangga, ini ngadu sama tetangga, “Jeng, tahu enggak?” Nah, itu sudah marah itu, Allah ya, itu enggak boleh begitu.

Sesi 3

Pemirsa Harmoni Indonesia Garuda TV, di mana pun Anda berada, dan juga jemaah Majelis Taklim Mahmudah Masjid Al-Amanah Pondok Gede, dari sini kita sekarang sudah tahu bahwa rumah itu bisa menjadi surga. Bukan karena rumahnya yang mungkin baik secara fisik, bukan, bukan karena rumahnya yang penuh dengan perabotan, bukan, bukan karena rumahnya yang banyak barang mewah, bukan. Tetapi rumah itu bisa menjadi surga kalau orang-orang yang ada di dalamnya memiliki sifat-sifat ahli surga. Nah, rumah yang kuat seperti itu, rumah yang seperti surga itu, itu yang mampu untuk bisa mencetak peradaban.

Makanya, kalau kita lihat bagaimana dulu Nabi sallallahu alaihi wasallam membina Madinah, rumah di Madinah itu tidak ada rumah-rumah yang mewah seperti yang ada di Romawi dan Persia. Tidak ada. Tidak ada, Ibu-ibu, tidak ada pemirsa sekalian, tidak ada rumahnya, rumah biasa. Rumah bentuk kotak semuanya, bahkan lantainya semuanya pasir. Itu yang ada di Madinah. Coba kalau di masa itu, jalan kita menuju ke Persia, masyaAllah, tuh namanya keramik-keramik sudah marmer-marmer, sudah canggih, teknologi maju. Begitu juga kalau ke Romawi. 

Tapi kenapa yang kelihatannya hanya sederhana dalam bentuk fisik itu mampu untuk bisa menjadi penguasa peradaban setelahnya? Satu sebabnya sebab keluarga yang ada di Madinah itu semuanya sehat, sehat jasmaninya, sehat rohaninya. Secara iman sehat, secara jasmani sehat., Buktinya secara jasmani sehat, apa? Pernah ada seorang dokter hadiah dari Raja Mukaukis yang ada di Mesir, dikirim ke Madinah. Ini dokter namanya. Waktu ada di Mesir, belum buka, sudah ngantri pasien. Begitu di Madinah, enggak ada yang datang. Sampai datangin rumah-rumah, jangan-jangan ada yang sakit? Enggak ada yang sakit. Sampai akhirnya dokter ini takut makan gaji buta, gitu. Ya, daripada nganggur di sini, ngapain? Mending saya dikembalikan. Datang kepada Nabi, “Ya Rasul, kalau begini terus, saya daripada enggak ngapa-ngapain di sini, ya mending saya dikembalikan aja, sebab di tempat saya di sana ngantri orang mau periksa, periksa. Di sini enggak ada.”

Ah, kalau gitu, silakan, kata Nabi, “Kalau mau pulang, boleh.” Terus sebelum pulang, dokter ini bilang, “Kenapa ya kok di sini enggak ada yang sakit?” Baru Nabi sebutkan resepnya, nahnu qawm (kami itu kaum) la nakulu hatta najua, kami itu kaum tidak makan sebelum kami lapar dan berhenti sebelum kami kenyang

Sehat secara fisik saja ngga cukup, harus juga sehat secara rohani, imannya sehat. Bagaimana rumah-rumah di sana itu? Rumah-rumah yang mengedepankan ketauhidan kepada Allah, rumah-rumah yang mencintai Rasul-Nya, rumah-rumah yang menjalankan syariat-Nya, sehingga dari rumah-rumah seperti ini, mampu untuk bisa membina peradaban yang luar biasa. Enggak pakai lama, hanya jarak beberapa puluh tahun setelahnya, Islam menjadi penguasa dunia. Oleh sebab itu, ini penting. Kalau kita lihat, kadang-kadang banyak orang yang melihat sesuatu itu langsung dari sisi negatifnya: “Kenapa kok begini? Kenapa enggak begini? Kenapa kok begitu?” Enggak usah! Coba kita perbaiki.

Kita harus mampu untuk bisa menjadi manusia yang menjadi solusi, bukan bagian dari masalah. Sehingga apa? Kalau melihat ada permasalahan, entah dalam lingkup masyarakat, bangsa, dan negara, lebih baik kita introspeksi ke dalam. Kita lihat dulu bagaimana apa yang ada pada diri kita, bagaimana apa yang ada pada keluarga kita. Kalau kita sudah introspeksi dan kita mencoba untuk memperbaiki, kenapa saya harus jauh-jauh salahkan satu kelurahan? Kenapa harus jauh-jauh salahkan satu kecamatan? Toh, ternyata sumber masalahnya ada di sini. Walaupun orang lain juga ada yang menjadi sumber masalah, tapi ternyata masalahnya masih di sini.

Kalau begitu, saya perbaiki dulu diri saya. Saya perbaiki diri saya sebagai pribadi, saya perbaiki diri saya sebagai seorang ibu, saya perbaiki diri saya sebagai seorang ayah, saya perbaiki diri saya sebagai kepala rumah tangga. Kalau ini dijalankan, maka insya Allah, ini akan mampu membina peradaban yang baik. Semua dimulai dari rumah, semua dimulai dari rumah. Kalau sudah rumah itu menjadi surga, maka yang ada di atasnya pun akan mengikuti. Ini ada 10 rumah, 15 rumah, 100 rumah yang sudah menjadi surga, itu pasti RW-nya juga akan menjadi surga. Kalau 100 RW jadi surga, kelurahan jadi surga, 100 kelurahan, kabupaten jadi surga, kabupaten provinsi jadi surga. Maka, diawali dari kita. Kalau kita mampu untuk membuat rumah itu menjadi surga, maka insya Allah, kita sebenarnya sedang menciptakan surga untuk masyarakat yang jauh lebih luas.

Itu, “Baiti Jannati” (Rumahku, Surgaku). Sekarang, PR kita berarti apa? Pulang dari sini, yang harus kita perbaiki apa? Apa yang kita perbaiki? Diri sendiri. Apa yang harus kita perbaiki? Suami? Jangan! Yang kita perbaiki diri kita sendiri, diri kita bisa kita perbaiki, yang ada di sekitar kita. Ya anak itu tanggung jawab! Jangan cuma ketika anak “Ah, yang penting saya cari duit terus, anak saya sekolahkan, sudah, biarin mau apa.” Sehebat-hebatnya sebuah lembaga pendidikan, kalau yang mendidik bukan orang tuanya asli, pasti juga akan ada rasa yang beda. Namanya juga orang, bukan anaknya. Kalau sudah capek, “Ah, biarin, terserah!” Nah, itu, iya kan?

Tapi kalau, umpama, ibunya sendiri, bapaknya sendiri yang mengajarkan, maka masya Allah, itu juga menjadi bagian bagaimana peradaban itu bisa dibina. Kesejahteraan bangsa dimulai dari keluarga. Kalau keluarga ini peduli dengan pendidikan anggota keluarganya, coba dilihat, dicek bacaan Qur’an kita bagaimana? Kalau kita sudah cek bacaan Qur’an anak kita, “Sini nak, duduk, wah coba hafalan surah Al-Baqarah.” Wah, emang mama hafal enggak ya?

Pendidikan ini penting. Makanya, saya kadang-kadang juga ngomongin Bapak-Ibu. Kalau kita itu ria kepada orang saat kita beribadah, itu enggak boleh. Tapi kalau ria kepada anak, boleh. Jadi, kalau lagi salat malam, itu jangan kita salat malam sendiri-sendiri. Jangan salat malam di kamar, anak kita kita ketok, “Assalamualaikum,” pasti enggak dijawab. Enggak apa-apa, kita buka terus kita gelar sajadah, “Kak, Mama mau tahajud.” Ya, pasti begitu. “Mama ini, kalau enggak tahajud, semalam aja pusing, rasa kepala mama, “BODO!!.” Enggak apa-apa, udah takbirlah kita di situ, “Allahu Akbar.” Enggak, enggak, enggak sah nanti kalau takbir begitu. Ya, tetap saja takbirlah.

Mungkin dia tidak peduli, tapi akan terekam di otaknya dalam beberapa kesempatan ke depan. Kalau misal kita sudah tidak ada lagi, yang ada di otaknya apa? Ya Allah, dulu orang tuaku, ayah ibuku, kalau lagi dalam kondisi sulit, tidak ada yang dilakukan kecuali ambil air wudhu dan gelar sajadahnya, lalu di sebelahku mengangkat tangannya dan memohon kepada Rabbnya. Itu akan menjadi pembelajaran yang luar biasa dibanding cuma ngomong, tapi kita enggak pernah, “Nak, jangan bohong! Jangan sekali-kali bohong, enggak boleh bohong!” Tapi tiba-tiba ada yang “Assalamualaikum, Mama, ada tamu?” Bilang, “Mama enggak ada,” bingung. Anak kita katanya enggak boleh bohong, tapi ternyata kenapa kok malah diajarin bohong?

Itu jangan dikira anak enggak bisa protes, tapi akan terekam di otaknya, mana yang akan diikuti. Akan lebih mudah mengikuti yang nampak di mata dibanding yang didengar telinga, ya. Itu penting. Jadi, pendidikan adalah bagian yang juga harus ada di dalam rumah, dan pendidikannya pendidikan yang didasarkan pada ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.

SESI 4

Alhamdulillah, jemaah Majelis Taklim Mahmudah Masjid Al-Amanah Pondok Gede dan pemirsa Harmoni Indonesia Garuda TV, sekarang kita saatnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, kalau ada. Nanti yang ingin ditanyakan, dipersilakan.

Yang pertama mau bertanya, angkat tangan… Ah, baik. Silakan Ibu, dipersilakan.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”

“Saya Astuti Widodo dari Majelis Taklim Al-Amanah Pondok Gede, mohon izin bertanya Pak Ustaz, bagaimana menanggapi atau sikap kami, khususnya dalam menghadapi cucu? Pak Ustaz, kalau anak mungkin sudah agak gede-gede ya, Pak Ustaz, tapi cucu itu kan kasih sayang seorang nenek itu lebih. Nah, sering kita melihat dengan keasikan anak cucu, terutama si cucu main HP, Pak Ustaz. Kadang waktunya salat, kita ingatkan satu kali, dua kali, dan tiga kali. Lama-lama ada rasa jengkel juga. Terus kita, kalau sudah berkata dilarang, tidak diingatkan, kok tidak mau melaksanakan, kita pukul, Pak Ustaz. Apakah itu menurut agama bagaimana, Pak Ustaz?”

Baik. Iya, memang kalau cucu ini punya tempat tersendiri di hati nenek dan kakeknya, makanya Nabi sallallahu alaihi wasallam pernah dalam sebuah kesempatan beliau kan punya cucu juga, Hasan dan Husin. Itu lagi salat, pas lagi sujud, lama, enggak bangun-bangun. Para sahabat sudah bingung, kok enggak bangun-bangun ya? Oh, mungkin ada wahyu turun. Nah, setelah itu bangun, ya. Jadi sahabat yang nungguin di belakang itu karena apa? Karena cinta. Ya, karena cinta.

Bahkan Nabi sering sekali memuji cucunya itu, beliaulah pemuda penghulu surga dan lain sebagainya. Tetapi, bersamaan dengan itu, juga bukan berarti Nabi sallallahu alaihi wasallam tidak pernah menegur mereka dalam banyak kesempatan. Juga diajarkan oleh Nabi sallallahu alaihi wasallam untuk menjaga, ya. Cucunya ini, kalau ada yang ke kanan dan ke kiri, diluruskan.

Nah, dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa memang tidak dipungkiri secara fitrah, namanya nenek dan kakek akan memberikan tempat tersendiri di hatinya. Kadang berani marahin anak, tapi enggak berani marahin cucu. Ya, karena memang bukan apa-apa, memang sudah enggak ada tenaga lagi mau marah. Bisa juga begitu kan? Kadang mau marah, sudah enggak ada tenaga.

Nah, sehingga harus lebih waspada. Sebab, kadang-kadang sesuatu yang enak itu belum tentu baik. Kebanyakan gula manis, tapi kalau kebanyakan gula, diabetes. Keju enak, tapi kalau kebanyakan keju, kolesterol. Ya, daging juga begitu.

Memang harus sesuai dengan porsinya. Maka kakek dan nenek harus mampu melihat ini dengan baik. Bagus tadi, kalau …untuk bisa men-support pasangan kami dengan ridha-Mu. Jadikan kami anggota keluarga yang saling menguatkan di antara yang lain dengan rahmat dan hidayah-Mu, ya Allah. Jadikanlah keluarga kami keluarga yang kuat jasmani dan rohaninya, keluarga yang sehat iman dan takwanya, keluarga yang senantiasa memprioritaskan ridha-Mu dalam kesehariannya, dan mudah-mudahan keluarga ini mampu untuk menjadi sumbangsih bata peradaban untuk kebaikan bangsa dan negara kami. 

Yang mau saya tanyakan adalah indikator apa yang bisa kita lihat atau rasakan apabila Allah meridai perbuatan baik kita. Alhamdulillah, jemaah Majelis Taklim Mahmudah Masjid Al-Amanah Pondok Gede dan pemirsa Harmoni Indonesia Garuda TV, nah, sekarang bagaimana ini kalau kita mau melihat apakah Allah itu rida atau tidak, Allah terima atau tidak? Ini sudah bagus pertanyaannya, sebab yang menjadi orientasi adalah Allah itu penting. Jadi, bagaimana ketika kita melaksanakan apapun juga yang menjadi orientasi Allah? Jadi, satu, bagaimana kalau kita mau tahu Allah itu terima atau tidak? Kalau memang yang kita jadikan orientasi Allah, maka insya Allah itu adalah pembuka atau secercah cahaya lah kalau itu diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antara indikasi-indikasi ibadah kita, peran kita, aktivitas kita, kiprah kita di tengah masyarakat diterima Allah, kalau satu orientasi kita Allah. Nah, gimana caranya orientasi Allah? Kalau ditanya, pasti semuanya “Kamu karena Allah kan?” “Iya, karena Allah.” “Kamu karena Allah kan?” “Iya, karena Allah.” Enggak akan mungkin orang yang sudah meniatkan diri untuk ikhlas terus ditanya, “Kamu karena apa?” “Saya karena bentar lagi ada pilihan.” Ah, itu berarti sudah bukan karena Allah, tapi karena Allah ini bukan hanya sekedar hartanya. Karena Allah harus ada hal-hal yang mensupport dia.

Satu, kalau betul-betul orientasinya Allah dan betul karena Allah, dia tidak peduli dengan omongan orang lain. Omongan orang lain ini bukan tidak peduli pada kritik, ya, bukan tidak peduli pada masukan, bukan! Tapi tidak peduli dengan rasa hati. Misalkan ada yang ngomong ini, kalau masuk mungkin rasanya agak sedikit enggak enak, dia santai, “Oh iya, karena yang terpenting buat dia bukan hanya sekedar penilaian dari orang. Orang mau memuji dia, tidak terbang, orang mau menghina dia pun tidak jatuh. Ya, biasa aja.” Selama memang ini baik, ya bismillah dia kerjakan. Ada masukan, dia terima dengan lapang dada, toh bukan ini masalahnya karena ingin nama dia diangkat.

Kadang-kadang kan kita itu kalau diberi masukan terus langsung merasa kita itu enggak enak hati. Yang kita pikirkan biasanya pertama adalah kita pribadi, ego, “Saya ah gitu.” Tapi kalau yang dipikirkan adalah yang lain, yang dipikirkan adalah masyarakat, yang dipikirkan adalah rida Allah, itu tidak ada masalah. Makanya begitu Umar bin Khattab radhiallahu anhu lagi naik mimbar, tiba-tiba ditunjuk sama orang, diprotes. Umar bin Khattab santai dengan senyuman aja, “Oh iya, ya, coba dicek kalau begitu, ah begitu saja.” Tidak marah, sebab apa? Tidak merasa bahwa yang dinistakan adalah pribadi yang bersangkutan, tetapi dia sadar bahwa ini adalah hal yang bisa membawa dia pada perbaikan. Kalau memang itu dirasa bisa baik, jadi orientasinya Allah. Tidak peduli dengan pujian, tidak peduli dengan hinaan.

Ya, upgrade status, alhamdulillah, masjid kami, majelis taklim kami, perkara ada yang suka atau tidak suka, sudah enggak ada urusan. Ya, kenapa ya kok yang suka cuma dua? Ah, gitu. Kenapa ya yang gitu? Berarti masih ada manusia. Kalau ada manusia, indikasi awal kalau itu tidak diterima, hati-hati. Makanya ya, jadi bukan omongan manusia yang kita perhatikan.

Yang kedua, indikasinya apapun itu, kita merasakan dan melaksanakan aktivitas itu dengan enjoy, senang gitu loh. Ya, walaupun di mata orang berat banget, rasanya ya, mungkin kalau secara fisik berat, tapi karena hatinya senang, jalan aja, udah. Jalan, ya, hatinya senang. Ini sebab akhirat, orientasinya ya, yang dipikirkan surga, surga, ah jalan lagi, jalan lagi, jalan lagi. Tidak merasa terbebani. Kalau orang susah, dikatakan ikhlas, kalau dia masih merasa terbebani, “Ikhlas enggak ikhlas?” “Ikhlas!” Ah, itu sudah pasti enggak ikhlas itu. Ya, yang ikhlas dong. “Iya, ikhlas.” Ah, itu pasti sudah enggak ikhlas itu. Itu sudah enggak ikhlas, karena ikhlas itu tidak perlu disebut.

Itulah rahasia kenapa dalam surah Al-Ikhlas di dalam Al-Qur’an tidak ada kata ikhlas. Coba surah Al-Ikhlas, “Qul huwallahu ahad, allahu samad, lam yalid walam yulad, walam yakul lahu kufuwan ahad.” Enggak ada ikhlasnya. Di antara maknanya, kalau ikhlas, enggak usah disebut-sebut. “Nih, saya kasih, saya ikhlas.” Enggak usah. Itu berarti enggak ikhlas. “Ya insya Allah, saya jalankan ini dengan ikhlas.” Enggak. Berarti enggak ikhlas. Ikhlas enggak usah disebut. Itu penting, gitu ya.

Baik, yang berikutnya ada yang ingin bertanya? Ayah, silakan.

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wa’alaikumussalam, saya dengan Ibu Diana, mohon izin bertanya, Pak Ustaz. Tadi yang disampaikan Pak Ustaz tentang keluarga bahagia itu lebih pada saat kita di dunia. Apa saja yang bisa kita sampaikan atau kita lakukan supaya keluarga kita menjadi bahagia? Lalu bagaimana saat kita nanti sudah wafat, hidup di akhirat? Apakah kita bisa berkumpul kembali bersama keluarga kita sebahagia kita di dunia? Dan bila bisa, apa syaratnya, Pak Ustaz, bila kita bisa berkumpul kembali? Demikian, Pak Ustaz, mohon penjelasan. Terima kasih.

Masya Allah, ya, jadi apakah memungkinkan buat keluarga yang bahagia di dunia ini nanti akan berkumpul kembali di akhirat? Masya Allah, sangat memungkinkan. Ya, bahkan di antara yang menggembirakan kita itu, Bapak dan Ibu adalah mereka yang masuk ke dalam surga. Kalau nanti keluarga ini beda-beda, suami, istri, bapak, ibu, anak, derajat surganya beda-beda, itu nanti yang paling atas surganya, yang paling tinggi itu bisa mengangkat mereka-mereka dari anggota keluarganya yang surganya di bawah. Nanti akan ada malaikat datangin bapak-bapak, “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” “Saya malaikat fulan, ada apa? Dipanggil istri Bapak ke atas?” “Ah, enggak, enggak.”

Penanya terakhir, dipersilakan siapa? Ah, Ibu, ya, silakan Bu.

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, Ustaz, pemaparan dari Pak Ustaz tentang rumahku surgaku itu memang suatu hal yang baru buat orang tua saya semua. Cuma yang jadi masalah ini, kalau pas saya itu salat malam, itu kadang-kadang suka misah gitu, ya. Enggak bareng. Tapi kalau salat biasa, alhamdulillah, suami itu menjadi imam.

Iya, nah pertanyaan saya, apakah itu akan menjadikan suatu hal yang lebih baik kalau kita berpisah? Karena kalau bersama-sama itu kayaknya kurang afdol buat saya. Oh iya, imama keduanya. Mungkin karena suami saya itu suka pulangnya rada malam, kelihatan capek gitu, ya. Jadi saya suka membiarkan aja dulu. Tapi kalau pas bareng, saya misa. Apa sebaiknya berpisah atau sama seperti salat biasa?

Baik, ya terima kasih.

Baik, masya Allah, ini pertanyaannya bagus-bagus. Alhamdulillah. 

Baik, jadi pertanyaannya bagaimana ini kalau salat tahajud enggak imaman, gitu ya, Ibu, ya? Jadi enggak apa-apa, Ibu. Bagus kalau mau misalkan salat tahajudnya itu sendiri-sendiri, silakan. Enggak apa-apa. Ya, ibu di lantai 7, Bapak di lantai 3, misal kan. Enggak apa-apa, bebas, boleh. Boleh, boleh, enggak apa-apa. Ya, apalagi mungkin bisa dirasa lebih khusyuk. Sebab sarana kita untuk bisa mendapatkan salat yang sesuai dengan keinginan kita itu, yaitu di salat sunah. Di salat sunah, sebab kalau kita lagi salat fardu, apalagi yang berjamaah, maka akan menyesuaikan dengan kondisi jemaah yang lain dan akan bersama dengan imam, enggak akan bisa sesuai dengan keinginannya. Tapi kalau salat sunah, nah di sini kesempatannya. Salat duha 8 rakaat, setiap rakaat satu juz, silakan, silakan. Nanti

salat malam juga begitu, ya. Yang dibaca rakaat pertama Ali Imran dan rukuknya sama panjangnya dengan berdirinya, silakan, enggak mungkin itu bisa dipraktikkan di salat jemaah. Bisa ditinggal lari sama jemaah, tapi kalau sendiri, kita bebas. Waktu sujud, ya Allah, kita bisa perpanjang untuk mohon kepada Allah dalam doa kita. Silakan, enggak apa-apa, gitu ya Bu.

Jadi kalau mau pisah-pisah, silakan. Khusus untuk tahajud, duha, sunah, dan lain sebagainya, memang itu adalah salat yang diperuntukkan agar kita itu bisa menikmati salat kita. Yang kedua, kalau misalnya suami pulang agak malam terus capek, kita biarin dulu tidur, boleh atau tidak boleh aja? Tidak apa-apa, silakan. Ya, salat Allahu Akbar, suami masih tidur, enggak apa-apa. “Udah, Pak, tidur aja, enggak apa-apa.” Allahu Akbar, terus saja tidur, Allahu Akbar, masih tidur. Gitu. Insya Allah, Bu. Ya, karena mungkin beliau kan butuh energi juga, ya, sudah untuk bisa aktivitas di keesokan hari. Cuman kalau bisa sempat dibangunkan, lebih baik lagi. Alhamdulillah. Salat malam itu jumlahnya berapa? Kalau mau tahajud, minimal dua rakaat ditambah witir satu rakaat. Insya Allah itu cukup waktunya, walaupun mungkin hanya sekitar 5-10 menit sebelum azan subuh. Begitu ya.

Baik, alhamdulillah acara sudah kita laksanakan, pengajian sudah kita laksanakan, mudah-mudahan memberikan manfaat untuk kita bersama dan insya Allah ilmu ini baik buat jemaah yang ada di Masjid Al-Amanah ataupun pemirsa Harmoni Indonesia Garuda TV yang ada di mana pun. Mudah-mudahan ilmu ini bisa menjadi ilmu yang dipraktikkan, ilmu yang diamalkan, dan ilmu yang mengundang berkah dan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Amin.

Insya Allah, mudah-mudahan ketika kita mampu untuk bisa peduli dengan keluarga kita, menjadikan rumah kita itu surga, kita mendidik keluarga kita dengan syariat-syariat yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, ini menjadi cikal bakal negara yang besar untuk bangsa kita, bangsa Indonesia. Mari kita sama-sama tutup acara ini dengan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hati yang khusyuk. Kita memohon, mudah-mudahan di waktu yang baik ini, semua doa kita diijabah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Alhamdulillahi rabbil alamin, hamdan syakirin, hamdan na’im, hamdan yuwafi ni’amahu wa ukiu mazidah. Rabbana lakal hamdu kama yambalali wajhikalimi wa Allahumfir lil mukminina wal mukminat wal muslim wal muslimat alahya minhum wal amwat. Inun mujibu dakwat ya qal hajat. Ya Allah, ya Rabbana, ya Rahmanu, ya Rahim, yang maha pengasih, wahai yang maha penyayang, berikanlah segala rahmat dan kasih sayang-Mu pada keluarga kami, mendidik anak-anak kami dengan syariat-Mu. Jadikan kami pasangan yang mampu untuk bisa mensupport pasangan kami dengan ridha-Mu. Jadikan kami anggota keluarga yang saling menguatkan di antara yang lain dengan rahmat dan hidayah-Mu, ya Allah. Jadikanlah keluarga kami keluarga yang kuat jasmani dan rohaninya, keluarga yang sehat iman dan takwanya, keluarga yang senantiasa memprioritaskan ridha-Mu dalam kesehariannya. Dan mudah-mudahan keluarga ini mampu untuk menjadi sumbangsih bagi peradaban untuk kebaikan bangsa dan negara kami, ya Allah.

Rabbana atina fid dunya hasanah, wafil akhirati hasanah, wa qina azab an-nar. Wa sallallahu wa sallam ‘ala nabina Muhammad wa alhamdulillahi rabbil alamin. Kalau ada kesalahan, saya mohon maaf dan kepada Allah mohon ampun. Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilayk. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.